Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Berawal dari cakrawala pemahaman akan Akuntansi di bangku sekolah SMK dahulu. Ana berfikir Atas landasan apa, Siapa, Dimana dan Bagaimana Akuntansi itu bisa ada di dunia. Jika di teorikan seperti yang dibuku teory Akuntansi pada saat ana di bangku SMK dahulu bahwa Akuntansi merupakan suatu seni pencatatan dalam transaksi perusahaan. Akuntansi dimulai seorang Luca pacioli (1445-1517), seorang cendiakawan asal Genoa,Italia yang telah menulis buku berjudul "Summa de Arithmetica Geometria, Proportioni et proportionalita". Buku menjabarkan tentang bagaimana sistem pencatatan berpasangan yang baru dikenal pada saat itu. Dan jika diteliti lebih jauh, maka sesungguhnya Luca pacioli adalah seorang "Pastur"dari Fransiskus. Sekali lagi, Luca pacioli adalah seorang "Pastur" dari Fransiskus. Dan bahkan, di buku teory Akuntansi tersebut menyebutkan bahwa Luca pacioli kini disebut sebagai Bapak Akuntansi.
Sejenak, ana seakan tidak percaya dan ingin sekali menelaah lebih jauh tentang hal itu. Dan bahkan, disaat ada perlombaan yang membuat pertanyaan mengenai 'Siapakah nama bapak Akuntansi', ana sendiri menjawab dengan tidak percaya sesuai dengan yang ditulis pada buku. Ini ana lakukan seraya agar cari aman dalam penilaian lomba semata. Selama tiga tahun lamanya,ana duduk di bangku SMK dan tidak mendapatkan jawaban yang puas akan ketidakpercayaan tadi. Akhirnya, jawaban tersebut ana dapatkan ketika semester awal di bangku perkuliahaan. Informasi tersebut ana dapatkan dari murobbi mentoring dan lebih diperjelas oleh dosen kuliah pada saat itu. Dan jawabannya : Akuntansi berawal dari Al-Qur'an . !
Ya .. Al-qur'an .
Hal ini dijelaskan dalam Q.S. Al-baqarah ayat 282, yaitu :
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْلاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلُُ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَآءُ إِذَا مَادُعُوا وَلاَ تَسْئَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبُُ وَلاَ شَهِيدُُ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقُُ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمُُ
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika bukan dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan kamu. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah (dan jangan juga yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis). Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kamu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Berawal dari cakrawala pemahaman akan Akuntansi di bangku sekolah SMK dahulu. Ana berfikir Atas landasan apa, Siapa, Dimana dan Bagaimana Akuntansi itu bisa ada di dunia. Jika di teorikan seperti yang dibuku teory Akuntansi pada saat ana di bangku SMK dahulu bahwa Akuntansi merupakan suatu seni pencatatan dalam transaksi perusahaan. Akuntansi dimulai seorang Luca pacioli (1445-1517), seorang cendiakawan asal Genoa,Italia yang telah menulis buku berjudul "Summa de Arithmetica Geometria, Proportioni et proportionalita". Buku menjabarkan tentang bagaimana sistem pencatatan berpasangan yang baru dikenal pada saat itu. Dan jika diteliti lebih jauh, maka sesungguhnya Luca pacioli adalah seorang "Pastur"dari Fransiskus. Sekali lagi, Luca pacioli adalah seorang "Pastur" dari Fransiskus. Dan bahkan, di buku teory Akuntansi tersebut menyebutkan bahwa Luca pacioli kini disebut sebagai Bapak Akuntansi.
Sejenak, ana seakan tidak percaya dan ingin sekali menelaah lebih jauh tentang hal itu. Dan bahkan, disaat ada perlombaan yang membuat pertanyaan mengenai 'Siapakah nama bapak Akuntansi', ana sendiri menjawab dengan tidak percaya sesuai dengan yang ditulis pada buku. Ini ana lakukan seraya agar cari aman dalam penilaian lomba semata. Selama tiga tahun lamanya,ana duduk di bangku SMK dan tidak mendapatkan jawaban yang puas akan ketidakpercayaan tadi. Akhirnya, jawaban tersebut ana dapatkan ketika semester awal di bangku perkuliahaan. Informasi tersebut ana dapatkan dari murobbi mentoring dan lebih diperjelas oleh dosen kuliah pada saat itu. Dan jawabannya : Akuntansi berawal dari Al-Qur'an . !
Ya .. Al-qur'an .
Hal ini dijelaskan dalam Q.S. Al-baqarah ayat 282, yaitu :
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْلاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلُُ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَآءُ إِذَا مَادُعُوا وَلاَ تَسْئَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبُُ وَلاَ شَهِيدُُ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقُُ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمُُ
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika bukan dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan kamu. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah (dan jangan juga yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis). Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kamu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Inilah ayat terpanjang dalam al-Quran, dan
yang dikenal oleh para ulama dengan nama ayat al-mudayanah (ayat utang
piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran atau menurut sebagian
ulama kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak
ketiga yang dipercaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau
sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.
Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang
anjuran bersedekah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian disusul dengan
larangan melakukan riba (ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada
yang tidak mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat
280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang piutang
setelah anjuran dan larangan di atas, mengandung makna tersendiri. Anjuran
bersedekah dan melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa
kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan
kekejaman dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang piutang yang
mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang mengakibatkan
terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran, sehingga
lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan
kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.
Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan
perintah bersedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Quran tidak bersimpati
terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu
dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan
menulis hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya. Seandainya kesan
itu benar, tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian rinci menyangkut
pemeliharaan dan penulisan hutang piutang.[1]
Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt
kepada kaum yang menyatakan beriman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menulisnya.”
Perintah ayat ini secara redaksional
ditunjukkan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang
melakukan transaksi hutang-piutang, bahkan yang lebih khusus adalah yang
berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan
itu, karena menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan,
walau kreditor tidak memintanya.
Perintah utang piutang dipahami oleh banyak
ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat ketika
itu. Memang sungguh sulit perintah diterapkan diterapkan oleh kaum muslimin
ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib,
karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian ayat
ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini
setiap orang mengalami pinjam dan meminjamkan.
Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan masalah salam (mengutangkan)
hingga waktu tertentu. Firman Allah, “hendaklah kamu menuliskannya”
merupakan perintah dari-Nya agar dilakukan pencatatan untuk arsip. Perintah
disini merupakan perintah yang bersifat membimbing, bukan mewajibkan.[2]
Selanjutnya Allah swt menegaskan: “Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil.” Yakni
dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku
dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah,
sebagaimana dipahami dari kata adil dan di antara kamu. Dengan
demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis,
pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis perjanjian, dan kejujuran.
Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada
penybutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini karena keadilan, di samping
menuntut adanya pengetahauan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang
yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar.
Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya
akan digunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum
untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari saksi.
Selanjutnya kepada para penulis diingatkan,
agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah
telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan
tanggung jawab di atas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang
memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
Setelah menjelaskan tentang hukum penulisan
hutang piutang, penulis, kriteria, dan tanggung jawabnya, maka dikemukakan
tentang siapa yang mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni dengan firmannya: Dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang disepakati untuk
ditulis. Mengapa yang berhutang, bukan yang memberi hutang? Karena dia dalam
posisi lemah, jika yang memberi hutang yang mengimlakkan, bisa jadi suatu
ketika yang berhutang mengingkarinya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya,
dan didepan penulis, serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi
yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala
sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang
berhutang agar hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Kemudian
ayat selanjutnya adalah menyatakan nasihat, janganlah ia mengurangi
sedikitpun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu,
cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup kesepakatan bersama.
Bagaimana kalau yang berhutang, karena suatu
dan lain hal tidak mampu mengimlakkan? Lanjutan ayat menjelaskannya, jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta,
karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau
sangat tua, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau
tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah
walinya mengimlakkan dengan jujur.
Setelah menjelaskan penulisan, maka uraian
berikut adalah menyangkut persaksian, baik dalam tulis menulis maupun
selainnya.
Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orng lelaki di antara kamu. Dua orang saksi dimaksud adalah
saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau
tidak ada- demikian tim Departemen Agama RI dan banyak ulama menerjemahkan
dan memahami lanjutan ayat-atau kalau bukan- menurut hemat penulis yakni
kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh
yang melakukan transaksi.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa
kesaksian dua orang lelaki, diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan.
Yakni seseorang lelaki diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan? Ayat
ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang
dari perempuan itu lupa maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi
bersamanya mengingatkannya. Mengapa kemungkinan ini disebutkan dalam
konteks kesaksian wanita. Apakah karena kemampuan intelektualnya kurang,
seperti diduga sementara ulama atau karena emosinya sering tidak terkendali?
Hemat penulis tidak ini dan tidak itu.
Persoalan ini harus dilihat pada pandangan
dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan
atasnya.
Al-Quran dan Sunnah mengatur pembagian kerja
antara wanita dan pria, suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan
dituntut untuk memberi perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan
kecukupan nafkah untuk anak istrinya. Sedang tugas utama wanita atau istri
adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik
dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Namun perlu dicatat, bahwa pembagian kerja
itu tidak ketat. Tidak jarang istri para sahabat Nabi ikut bekerja mencari
nafkah, karena suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak
sedikit pula suami yang melakukan aktivitas di rumah serta mendidik
anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut di atas, dan perhatian berbeda yang
dituntut terhadap masing-masing jenis kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan
mereka menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah
tangga, pastilah lebih kuat dari pria yang perhatiannya lebih banyak atau
seharusnya lebih banyak banyak tertuju kepada kerja, perniagaan, termasuk
hutang piutang. Ingatannya pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian
utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan tertuju kesana. Atas dasar besar
kecilnya perhatian itulah tuntunan di atas ditetapkan. Dan, karena al-Quran
menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tangga atau atas
dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini, wanita-wanita tidak memberi
perhatian yang cukup terhadap hutang-piutang, baik suami tidak mengizinkan
keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih
besar dari kemungkinannya oleh pria. Karena itu demi menguatkan persaksian, dua
orang wanita diseimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seseorang lupa
maka seseorang lakgi mengingatkannya. Sekali lagi hemat penulis ayat ini
tidak berbicara tentang kemampuan intelektual wanita, tidak juga berarti bahwa
kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan pria.
Sebagaimana Allah berpesan kepada para
penulis, kepada para saksipun Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keteranganapabila mereka dipanggil,” karena keengganannya
dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban.
Yang dinamai saksi adalah orang yang
berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian,
dan dapat juga secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat satu
peristiwa, katakanlah tabrakan, maka ketika itu anda telah berpotensi memikul
tugas kesaksian, sejak saat itu anda telah dapat dinamai saksi walaupun belum
lagi melakukan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat berarti, janganlah
orang-orang yang berpotensi menjadi saksi enggan menjadi saksi apabila
mereka diminta. Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang
enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan
dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, mereka perlu dihimbau.
Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang memberi
keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan.
Setelah mengingatkakn para saksi, ayat ini
kembali berbicara tentang penulisan hutang piutang, tapu dengan memberi
penekanan pada hutang piutang yang jumlahnya kecil, padahal yang kecilpun dapat
menyebabkan permusuhan, bahkan pembunuhan. Memang menulis yang kecil-kecil,
apalagi seringkali dapat membosankan. Karena itu, ayat ini mengingatkan, janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai yakni termasuk
batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, yakni
penulisan hutang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil
disisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan
lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan
persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan di
antara kamu.
Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika
muammalah dilakukan dalam bentuk hutang-piutang. Tetapi jika ia merupakan
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi
kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; perintah di sini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum,
bukan perintah wajib.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan
untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja maempunyai aneka kepentingan pribadi
atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat
mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual
beli atau hutang piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis
dan saksi jika karena menyelewengkan kesaksiasn atau menyalahi ketentuan
penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat
dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli,
serta yang berhutang dan pemberi hutang. Wala yudharra katibun wa la syahid,
dapat berarti janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang
bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah
memudharatkan para saksi dan penulis.
Salah satu bentuk dari mudharat yang dapat
dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rejeki,
karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti transport dan biaya
administrasi sebagai imbalan jeri payah dan penggunakan waktu mereka. Di sisi
lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah
dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan
penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai
para saksi dan penulis serta yang melakukan muammalah, melakukan yang
demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Kefasikan terambil dari akar kata yang
bermakana terkelupasnya kulit sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang
dari ketaatan kepada Allah swt atau dengan kata lain kedurhakaan. Ini berarti,
siapa pun yang melakukan suatu aktivitas yang mengakibatkan kesulitan bagi
orang lain, maka dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan
kepada-Nya.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan
bertaqwalah kepada Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertaqwa yang disusul dengan
mengingatkan pengajaran ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena
seringkali yang melakukan transaki perdagangan menggunakan pengetahuan yang
dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk mencari keuntungan sebanyak
mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat pengajaran
Ilahi menjadi sangat tepat.
Akhir kata, Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk mencatat apabila melakukan suatu hutang piutang. Hal tersebut biar tidak terjadi suatu perselisihan dikemudian hari apabila tersjadi suatu permasalahan yang timbul selama berjalannya transaksi hutang sampai kepada suatu pelunasan. Apabila terjadi suatu masalah, tinggal dibuka saja catatan-catatan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Akhir kata, Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk mencatat apabila melakukan suatu hutang piutang. Hal tersebut biar tidak terjadi suatu perselisihan dikemudian hari apabila tersjadi suatu permasalahan yang timbul selama berjalannya transaksi hutang sampai kepada suatu pelunasan. Apabila terjadi suatu masalah, tinggal dibuka saja catatan-catatan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Hampir tiap-tiap transaksi yang ada di dunia
ini mengenal yang namanya hutang piutang, baik itu pada transaksi kelembagaan
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan dalam suatu kelembagaan terdapat
macam-macam transaksi yang mana semuanya mengenal istilah hutang piutang
didalamnya; perbankan, koperasi, perusahaan, pemerintahan, dan lain-lain.
Begitu pula aktivitas hutang piutang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari;
antar saudara, antar tetangga, belanja di took, dan lain-lain. Seseorang
mengenal hutang dikarenakan kebutuhan yang lebih banyak daripada suatu
pendapatan yang didapatnya, sedangkan setiap orang dituntut memenuhi
kehidupannya mau tidak mau harus terpenuhi.
Dengan hadirnya transaksi hutang piutang,
terjadi banyak orang yang memanfaatkan hal tersebut untuk memeras pihak-pihak
yang lagi membutuhkan keuangan. Padahal pada hakikatnya suatu transaksi hutang
piutang adalah taawun (tolong menolong). Akan tetapi akad tolong menolong
tersebut dipelintir menjadi suatu tambahan didalam pelunasan hutang, sampai
akhirnya terjadi suatu tambahan tersebut yang mana dinamakan riba. Hal tersebut
dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik kelembagaan maupun perorangan.
Jazakumullah, Akhirul kalam, Wallahualam .
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.